Matahari baru saja menampakkan diri secara
utuh di Kota Manado, Sulawesi Utara, ketika tim sosialisasi empat pilar
MPR RI bersiap melunaskan tugasnya, Sabtu (2/5/2015). Tak lama
berselang, iring-iringan kendaraan memecah kesunyian kota yang letaknya
di pesisir laut dan di kaki perbukitan untuk menuju lokasi sosialisasi
di Kabupaten Minahasa Tenggara, Sulawesi Utara.
Sosialisasi
empat pilar adalah salah satu tugas yang wajib dilaksanakan oleh seluruh
anggota MPR sesuai amanat UU MPR, DPR, DPRD, dan DPD (MD3), Keputusan
MPR Nomor 1/2010, dan Instruksi Presiden Nomor 6/2005. Tujuannya untuk
memasyarakatkan empat pilar MPR RI, yakni Pancasila sebagai dasar
negara, UUD RI 1945 sebagai konstitusi negara, NKRI sebagai bentuk
negara, dan Bhinneka Tunggal Ika sebagai semboyan negara.
Rombongan
hari ini dipimpin oleh Ketua Badan Sosialisasi Empat Pilar MPR RI,
Ahmad Basarah dari Fraksi PDI Perjuangan. Turut serta dalam rombongan
itu adalah Deding Ishak (Golkar), Khotibul Umam Wiranu (Demokrat),
Syafrudin (PAN), dan Abraham Liyanto (perwakilan DPD RI). Iring-iringan
kendaraan anggota MPR tiba di lokasi sosialisasi, di Kecamatan Ratahan,
Kabupaten Minahasa Tenggara, Sulawesi Utara, setelah menempuh perjalanan
sekitar dua jam dari Manado.
Sosialisasi digelar di sebuah
aula, di Kantor Bupati Minahasa Tenggara. Jalur yang dilewati untuk
mencapai lokasi sosialisasi cukup menantang, berkelok melintasi
perbukitan, dan melewati dua titik yang baru saja terjadi longsor.
Titik
longsor pertama berada di Tomohon, dan titik kedua ada di Jalan Gunung
Potong, yang menghubungkan Desa Noongan, Minahasa, dengan Desa Pangu,
Minahasa Tenggara. Kendaraan harus melambat saat melewati titik longsor
ini. Longsor susulan rentan terjadi, terutama jika hujan lebat turun dan
mengguyur jalan beraspal yang tertutup tanah merah tersebut.
Setibanya
di kantor Bupati Minahasa Tenggara, ratusan peserta telah menunggu.
Para peserta didominasi oleh tenaga pendidik reguler, guru pengawas, dan
kepala sekolah dari berbagai satuan pendidikan di Kabupaten Minahasa
Tenggara. Sosialisasi sengaja ditujukan untuk para tenaga pendidik
karena disesuaikan dengan momentum Hari Pendidikan Nasional. Para guru
anggota PGRI itu diharapkan mendapat pencerahan mengenai empat pilar
untuk kemudian disampaikan pada peserta didiknya di sekolah.
Basarah
menuturkan, berdasarkan hasil penelitian tahun 2013, sekitar 70 persen
peserta didik di Indonesia tidak hafal Pancasila. Menurut dia, fenomena
ini merupakan ancaman serius yang jika dibiarkan akan mengarah pada
penggerusan nasionalisme.
"Karena kami menyadari betul bahwa
masa depan bangsa ditentukan sejauh mana sistem pendidikan mampu
menciptakan masa depan Indonesia yang lebih baik," kata Basarah.
Dalam
acara itu, hadir juga Bupati Minahasa Tenggara, James Sumendap beserta
jajaran SKPD, camat, dan lurah. Kabupaten yang akan segera merayakan
hari jadi kedelapan tahun ini terdiri dari 12 kecamatan, 135 desa, dan 9
kelurahan.
Dalam paparannya, Basarah fokus menyampaikan materi
tentang Pancasila dan akar sejarahnya. Ia pun mengungkapkan konsep
Pancasila yang pertama kali disampaikan Soekarno pada 1 Juni 1945, dalam
sidang BPUPKI.
Saat itu, Bung Karno menyebut konsep Pancasila
terdiri dari kebangsaan Indonesia, perikemanusiaan, mufakat atau
demokrasi, kesejahteraan sosial, dan Ketuhanan yang berkebudayaan. Bung
Karno, kata Basarah, juga sempat mengajukan konsep tiga sila (trisila),
dan konsep satu sila (eka-sila) yang memuat kata gotong royong sebagai
substansi utamanya.
Proses perumusan Pancasila sebagai dasar
negara berlanjut dengan dibentuknya tim sembilan yang melahirkan Piagam
Jakarta pada 22 Juni 1945. Piagam Jakarta memuat penyempurnaan konsep
Pancasila yang disampaikan Bung Karno, yakni, ketuhanan dengan kewajiban
menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya, kemanusiaan yang
adil dan beradab, persatuan Indonesia, kerakyatan yang dipimpin oleh
hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, dan keadilan
sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Jelang disahkan pada 18
Agustus 1945, salah seorang anggota tim sembilan, A.A Maramis menemui
Mohammad Hatta dan meminta ada perubahan dalam sila pertama. Menurut
Maramis, sila pertama kurang nasionalis karena memuat kata "syariat
Islam" dan dianggap tidak mengakomodasi warga negara pemeluk agama
selain Islam.
"Maramis menyampaikan pada Pak Hatta, kalau hanya mengatur satu agama
saja, bagaimana dengan kami dari (Indonesia) timur yang mayoritas bukan
muslim, berarti kami tidak ikut dalam perahu kemerdekaan itu," ujarnya.
Karena masukan Maramis itu, seluruh anggota tim sembilan akhirnya
sepakat menyempurnakan sila pertama yang semula berbunyi "ketuhanan
dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya"
menjadi "Ketuhanan Yang Maha Esa, sedangkan sila-sila yang lainnya tidak
diubah dan tetap sama hingga saat ini.
"Pendiri bangsa kita telah mewariskan kearifan yang luar biasa,
menyampingkan ego kelompok dan golongan demi persatuan Indonesia," ucap
Basarah.
Peran Maramis dalam perumusan Pancasila sebagai dasar negara
digunakan Basarah untuk menyengat antusiasme peserta sosialisasi.
Pasalnya, Maramis adalah putra kelahiran Manado 20 Juni 1897, yang
secara otomatis memiliki kedekatan emosional dengan masyarakat Minahasa.
Tiba-tiba, suasana yang semula tenang menjadi riuh ketika para
peserta menyadari terjadi gempa ringan dalam hitungan detik di lokasi
sosialisasi. Tapi semua peserta tetap duduk di tempat dan tidak
berhambur keluar ruangan.
"Tenang saja, ada kecanggihan teknologi, gedung ini seharunya sudah anti gempa," ucap Bupati Minahasa Tenggara, James Sumendap.
Dalam kesempatan itu, James mengusulkan perlunya peringatan khusus
pada Pancasila 1 Juni 1945. Caranya dengan menjadikan 1 Juni sebagai
hari libur nasional dan membuat Pancasila 1 Juni sebagai mata pelajaran
pokok di satuan pendidikan. Sebagai dasar negara, Pancasila harus terus
tertanam dalam benak dan diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari.
"Kita jangan lupakan rangkaian sejarah. Gotong royong adalah jati dirinya Indonesia," ucap Basarah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar